Dua Lusin Pertama


Ditampar dulu baru kapok. Itulah Saya. Atau kita?

Palawija

Dan, gara-gara sosok di atas panggung tertanggal 14-06. Jadi apa alasannya sehingga harus moment ini yang menajdi titik balik?; desak-desakkan dengan audience, tertolak salah satu perusahaan  ternama, dan bertemu dengan si tinggi besar di atas panggung.

Melihatnya, mendengar musiknya, spontan saja ada ingatan yang muncul ke permukaan. Mimpi-mimpi empat tahun silam seperti sedang dibangunkan. Imaji yang terhimpun bersama nada dan kata dari si tinggi besar. Dulu, saya tidak se-fatalis ini.

Lalu dari dalam gubuk hati ada yang berontal. Suara kerasnya memekakan telinga sambil berkata,”Hei, segini aja hidupmu?”

Diri sendiri sekarang… Usia sudah dua lusin, tapi mimpi yang terwujud belum seper empatnya. Kemana saja selama ini, wahai jiwa yang tertidur tiga windu lamanya? Masih saja jadi daging yang berjalan secara acak. Tidak punya pola. Pengikut mayoritas yang berada di sekitar dunia dalam tempurung.

Tentu saja ini bukan tentang si tinggi besar di atas panggung. Melainkan mendekati pada bayangan saya akan perjuangan dia hingga sampai di atas panggung. Menjadi lulusan arsitek lalu memilih berkarya dengan nada dan suara… tidak ada salahnya bukan? Bahkan dia bisa menemukan bahwa, ada keterkaitan antara nada dan desain yang ia tekuni dulu.

Ia sudah berjuang mewujudkan mimpinya. Sesekali pasti ada dalam hidupnya, cibiran yang memekakan telinga. Tatapan meragu akan keputusannya. Tapi dia bisa menemukan jalan yang benar (mungkin).

Tentu saja, tidak ada korelasi antara hidup saya dan si tinggi besar di atas panggung. Jadi kenapa dia tiba-tiba memberi hentakan? Dari musiknya, liriknya, nadanya, membangunkan raksasa tidur saya dalam sana.

Lalu kamu? iya kamu… mau jadi apa nanti di moment tiga  lusin berikutnya? di windu ke empat? di dasawarsa ketiga? Pikirkan baik-baik. Apakah kamu sedang hidup di kehidupan orang lain? is it your true purpose of life? 

 

 

1 thought on “Dua Lusin Pertama

Leave a comment