Subuh menjelma menjadi pagi dari ufuk timur, Ndoro. Semakin tinggi mentari, semakin asap belerang mulai tampak mengepul. Sedikit- demi sedikit kabut tipis memudar. Menghapuskan beku yang menjadi selimut kita selama hampir tiga jam di jalan. Pelaku utama, kenapa kita kedinginan semalaman.
Tapi bagaimana bisa, Usai shalat subuh di tepian tebing belerang, Ndoro muncul lagi. Setelah sekian lama hilang di telan bumi… Ndoro munampakkan diri. Senyum Ndoro tersimpul. Ndoro telah kembali.
“Akhirnya kamu sampai juga, Nduk”
Kalimat itu yang spontan terucp saat pendangan saya dan Ndoro bertemu. Kalimat pertama yang Ndoro ucapkan masih saja menggema di telinga. Lantas saya membalasnya dengan tanya.
Di bibir kawah itu, Ndoro melantunkan dongeng panjang. Tentang aurora biru yang menampilkan diri sebagai api biru. Tentang api biru, tapi ternyata tidak lebih besar dari api biru di pawon belakang warung.
“Ndoro ini kemana saja, sudah hampir dua belas purnama saya mencari Ndoro. Memangnya Ndoro ini Rangga yang pantas ditunggu hingga belasan kali rotasi bumi. Saya butuh nasihat, Ndoro. Tapi njenengan malah menghilang.”
Ndoro senyam senyum. Lantas melengos pergi, bercakap-cakap dengan penambang belerang beserta pikulannya. Saya pun mengejar Ndoro sambil tertatih-tatih karena pegal. Hingga di puncak gunung, Ndoro menghentikan langkahnya lalu berdiri mematung sambil melipat kedua tangan di depan dada.
“Sudah berapa ribu langkah yang kamu tempuh, Nduk?” Tanya Ndoro dari jarak tiga meter di hadapan saya.
“Apa arti jarak kalau setiap langkah tidak lagi bisa mempersatukan, Ndoro?” pungkas saya.
Ndoro tersenyum, berdiri mematung. Matanya mengamati bukit di sekeliling kawah belerang yang tampak hijau. Jauh berbeda dengan tanah pijakan kami yang berwarna gersang.
“Mau nunggu apa lagi? Katanya sudah berusaha sekuat tenaga. Katanya sabarmu sudah terkikis. Tapi nyatanya kamu masih bisa mencapai puncak ini tanpa meninggikan ego.”
“Itu tidak benar, Ndoro. Saya mati-matian kesini untuk mencari Ndoro.”
“Nasihat Ndoro kamu ini tidak akan berguna, selama hati kamu belum bisa dikosongkan. Selama pikiran kamu belum netral. Kapan kamu belajar ridha, kalau setiap harinya hanya menyesali yang sudah terjadi?”
Raut muka Ndoro masih sama. Datar. Diselingi beberapa simpul senyum.
“Jangan kau tunggu jika ingin ikhlas. Jangan keu beratkan jika ingin lepaskan. Tugasmu hanya berusaha, Nduk” Tuturnya.
ANL.
Kawah Ijen, 16 Agustus 2016.