Menuju Dua Tuju(an)

Mulia, aku harus paham sedalam-dalamnya tentang takdir. Bahwa hal ihwal yang Engkau kehendaki tidak akan pernah meleset sedikit pun dari takdir kami. Bahwa berharap dan berdoa adalah satu-satunya jalan setelah proses sebegitu panjang ikhtiar kami lalui. Bahwa dan bahwa kami akan tetap mengharap hidayah Mu, kekuatan Mu … agar kami dapat memilih dengan benar sesuai petunjuk Mu.

Mulia… dalam kelemahan dan ketidak tahuan, ada lintasan pertanyaan bodoh menyelinap di balik ikhtiar yang tak sempurna ini. Misalnya, kenapa engkau berikan jalan yang bercabang bagi hati kami sang peragu? Mengapa terkadang kami merasa tidak punya banyak pilihan? Di sisi lain, ada banyak pilihan tapi kami tetap tak mampu memilihnya (tanpa petunjuk Mu)?

Lalu Engkau menjawab kepada kami yang fakir ilmu ini. “Bagaimana bisa kalian mengaku beriman sementara tidak diuji?”,. Lantas, seketika kami diguyur dengan rasa malu. Bisa-bisanya hati yang kotor ini berani mempertanyakan kehendak Mu ? Berikan rahmat Mu… wahai Dzat yang paling Mulia.

Jakarta, 6 Mei 2018

“Hello World” : Sambutan Setelah Sepuluh Tahun Blogging

pinus

Hello world! kata pembuka saat kita memulai blogging menggunakan wordpress. Yes, it have been ten years since my first post here, in blueaurora. Perkembangan saya tidak terlalu banyak selama kurun waktu tersebut. Tentunya diukur dengan jumlah tulisan yang terpublikasi masih kurang dari angka 100. 😦 betapa pemalasnya saya ini.

Dan lagi, blog ini ternyata lebih banyak didominasi oleh tulisan menye-menye jaman jahiliyah dahulu kala. hahaha, sangat tidak membanggakan. Ingin rasanya ku hapus saja semua tulisan itu saking malunya 😀

oh ya, selidik punya selidik, saya memulai blog ini dengan sekian jumlah teman dengan kegemaran sama (blogging). dan dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah mereka kian berkurang. Tidak bisa dipungkiri, kekuatan micro blogging dari platform twitter, atau facebook di masa itu menjadi pemicunya.

Tapi tidak hanya itu.

sepuluh tahun terakhir ini juga, banyak berkembang platform blog lain yang lebih digemari. Misalnya, tumblr. Dari sisi user interface, tumblr lebih mudah digunakan, untuk pemula sekalipun. Tumblr ini menurut saya cukup sukses dalam memadukan konsep media sosial dan blog. satu tahun terakhir saya menjadi pengguna tumblr, sebelum akhirnya dia dibungkam paksa oleh pihak terkait 😦 rasanya sedih, seperti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. hahaha

Well, kembali ke topik sepuluh tahun.

jika sepuluh tahun itu diibaratkan menanam pohon sedari masih dalam wujud benih, seharusnya pohon saya sudah menjadi pohon agak raksasa. Tapi nyatanya, pohon saya masih kecil, lantaran yang saya tanam adalah pohon toge 😀

 

 

 

 

Menjadi Kamu

Terbangun dari mimpi, lalu menyadari bahwa aku telah bermimpi selama lebih dari empat tahun lamanya. Titik mulanya sejak Januari 2013. Lantas berakhir saat November 2016. Sejak hari itu, perbedaan menampakkan diri ke permukaan. Sapaan yang berbeda, kalimat yang tak lagi hangat. Hingga pada suatu fakta yang terungkap, bahwa yang kamu anggap rumah, ternyata cuma tempat singgah sementara. 

Sekarang, bisakah kalian berhenti bertanya? Berhenti pula memandang dengan kasihan. 

Kedua kaki ini akan segera beranjak. Lalu saya akan segera menjadi kamu. Tak Gentar, tak rindu, tak pilu. Entah kapan. Jadi, berhentilah bertanya dan menuntut jawaban yang hanya memuaskan prasangka kalian sendiri. 


Mencari Blueaurora

IMG_9423

Subuh menjelma menjadi pagi dari ufuk timur, Ndoro. Semakin tinggi mentari, semakin asap belerang mulai tampak mengepul. Sedikit- demi sedikit kabut tipis memudar. Menghapuskan beku yang menjadi selimut kita selama hampir tiga jam di jalan. Pelaku utama, kenapa kita kedinginan semalaman.

Tapi bagaimana bisa, Usai shalat subuh di tepian tebing belerang, Ndoro muncul lagi. Setelah sekian lama hilang di telan bumi… Ndoro munampakkan diri. Senyum Ndoro tersimpul. Ndoro telah kembali.

“Akhirnya kamu sampai juga, Nduk”

Kalimat itu yang spontan terucp saat pendangan saya dan Ndoro bertemu. Kalimat pertama yang Ndoro ucapkan masih saja menggema di telinga. Lantas saya membalasnya dengan tanya.

Di bibir kawah itu, Ndoro melantunkan dongeng panjang. Tentang aurora biru yang menampilkan diri sebagai api biru. Tentang api biru, tapi ternyata tidak lebih besar dari api biru di pawon belakang warung.

“Ndoro ini kemana saja, sudah hampir dua belas purnama saya mencari Ndoro. Memangnya Ndoro ini Rangga yang pantas ditunggu hingga belasan kali rotasi bumi. Saya butuh nasihat, Ndoro. Tapi njenengan malah menghilang.”

Ndoro senyam senyum. Lantas melengos pergi, bercakap-cakap dengan penambang belerang beserta pikulannya. Saya pun mengejar Ndoro sambil tertatih-tatih karena pegal. Hingga di puncak gunung, Ndoro menghentikan langkahnya lalu berdiri mematung sambil melipat kedua tangan di depan dada.

“Sudah berapa ribu langkah yang kamu tempuh, Nduk?” Tanya Ndoro dari jarak tiga meter di hadapan saya.

“Apa arti jarak kalau setiap langkah tidak lagi bisa mempersatukan, Ndoro?” pungkas saya.

Ndoro tersenyum, berdiri mematung. Matanya mengamati bukit di sekeliling kawah belerang yang tampak hijau. Jauh berbeda dengan tanah pijakan kami yang berwarna gersang.

“Mau nunggu apa lagi? Katanya sudah berusaha sekuat tenaga. Katanya sabarmu sudah terkikis. Tapi nyatanya kamu masih bisa mencapai puncak ini tanpa meninggikan ego.”

“Itu tidak benar, Ndoro. Saya mati-matian kesini untuk mencari Ndoro.”

“Nasihat Ndoro kamu ini tidak akan berguna, selama hati kamu belum bisa dikosongkan. Selama pikiran kamu belum netral. Kapan kamu belajar ridha, kalau setiap harinya hanya menyesali yang sudah terjadi?”

Raut muka Ndoro masih sama. Datar. Diselingi beberapa simpul senyum.

“Jangan kau tunggu jika ingin ikhlas. Jangan keu beratkan jika ingin lepaskan. Tugasmu hanya berusaha, Nduk” Tuturnya.

ANL.

Kawah Ijen, 16 Agustus 2016.

 

Silau Senja

tulus

“Jangan Datang Terus” kata lelaki tinggi besar di samping telinga. Suara merdunya berteriak melalui lubang jarum berjumlah seribu, muncul dari sisi layar lebar. Saya mengikuti setiap album yang kamu tuliskan, Tuan. Tetapi, tidak semua jarak bisa dilipat semudah itu.

Taukah tuan,tidak semua cerita bisa dikabarkan pada semua orang. Karena mereka belum tentu mengerti bagaimana bentuknya diri kami, setelah melawan jarak selama hampir sembilan ratus sembilan puluh tiga hari. Dengan hanya empat hari tatap muka, dengan intensitas waktu kurang hanya lima jam per hari.

Lalu senja ini, kami menemukan diri masing-masing telah berevolusi menjadi orang asing. Kita kembali menjadi sosok yang bertemu di antara kerumunan, lantas saling melupakan.

Tunggu dulu, rasanya kata “kami” tidak lagi relevan. karena di antara keduanya tidak ada yang berani memutuskan perkara. masing-masing selalu saja bersembunyi di balik argumen dalam dialog sunyi.

Jadi tuan, jangan lagi bilang kalau “kita butuh ruang”. Sementara jarak dan waktu sudah terlalu lebar. Menghargai sepi tidak harus berhubungan dengan sengaja menghindar. Tidak salah jika ada yang bertanya,”omong kosong macam apa lagi ini?”. Karena kekosongan tanpa komunikasi dan suara ternyata sama hampanya dengan kotak-kotak harapan yang tidak lagi terisi.

 

-Keputih, 24 tahun 8 bulan 4 hari.

Saat kamu merasa berhasil keluar dari lembah dingin. Lalu tak berapa lama kamu terperosok kembali ke sana. Sia-sia. Semua perjuangan harus dimulai lagi dari nol.

Dua Lusin Pertama

Ditampar dulu baru kapok. Itulah Saya. Atau kita?

Palawija

Dan, gara-gara sosok di atas panggung tertanggal 14-06. Jadi apa alasannya sehingga harus moment ini yang menajdi titik balik?; desak-desakkan dengan audience, tertolak salah satu perusahaan  ternama, dan bertemu dengan si tinggi besar di atas panggung.

Melihatnya, mendengar musiknya, spontan saja ada ingatan yang muncul ke permukaan. Mimpi-mimpi empat tahun silam seperti sedang dibangunkan. Imaji yang terhimpun bersama nada dan kata dari si tinggi besar. Dulu, saya tidak se-fatalis ini.

Lalu dari dalam gubuk hati ada yang berontal. Suara kerasnya memekakan telinga sambil berkata,”Hei, segini aja hidupmu?”

Diri sendiri sekarang… Usia sudah dua lusin, tapi mimpi yang terwujud belum seper empatnya. Kemana saja selama ini, wahai jiwa yang tertidur tiga windu lamanya? Masih saja jadi daging yang berjalan secara acak. Tidak punya pola. Pengikut mayoritas yang berada di sekitar dunia dalam tempurung.

Tentu saja ini bukan tentang si tinggi besar di atas panggung. Melainkan mendekati pada bayangan saya akan perjuangan dia hingga sampai di atas panggung. Menjadi lulusan arsitek lalu memilih berkarya dengan nada dan suara… tidak ada salahnya bukan? Bahkan dia bisa menemukan bahwa, ada keterkaitan antara nada dan desain yang ia tekuni dulu.

Ia sudah berjuang mewujudkan mimpinya. Sesekali pasti ada dalam hidupnya, cibiran yang memekakan telinga. Tatapan meragu akan keputusannya. Tapi dia bisa menemukan jalan yang benar (mungkin).

Tentu saja, tidak ada korelasi antara hidup saya dan si tinggi besar di atas panggung. Jadi kenapa dia tiba-tiba memberi hentakan? Dari musiknya, liriknya, nadanya, membangunkan raksasa tidur saya dalam sana.

Lalu kamu? iya kamu… mau jadi apa nanti di moment tiga  lusin berikutnya? di windu ke empat? di dasawarsa ketiga? Pikirkan baik-baik. Apakah kamu sedang hidup di kehidupan orang lain? is it your true purpose of life? 

 

 

Title 2

Saya tahu ndoro, perubahan orang-orang terdekat serasa lebih menyakitkan. Entah kenapa saya tidak sakit hati dengan para pemimpin yang tiba-tiba berubah setelah mereka dipilih. Meskipun janji-janji mereka tidak ditepati, saya tetap merasa biasa saja.

Beda kasus kalau yang bikin janji orang terdekat kita. Janji kecil saja, misalnya bilang nanti malam mau telfon. Tapi ternyata lupa. Hingga sampai seminggu menghilang tanpa jejak. Rasa sakitnya lebih menusuk daripada janji pemimpin untuk memperbaiki negeri.

Padahal, janji remeh temeh seperti itu seberapa besar efeknya untuk kehidupan saya? Bahkan jika misalnya harga cabe naik sekian ratus rupiah saja lebih memberikan efek domino. Tapi saya ndak pernah sakit hati karena harga cabe naik. Padahal, ada yang pernah janji bakal menstabilkan harga bahan makanan pokok.

Cabe, juga termasuk bahan pokok di negeri ini kan?

Ah iya ndoro. Saya sekarang paham. Tertusuk Paku yang kecil lebih berbahaya daripada dipukul dengan seribu guling.

Title

Kamu tahu? terkadang kita punya banyak cerita. Hanya saja, kita tidak siap untuk menceritakannya. Tidak siap, karena orang-orang hanya suka meliatmu tersenyum. Mereka tidak terlalu peduli jika kamu lelah. Perjalanan 35 kilometer ditempuh di bawah gerimis rapat. Sekujur tubuhmu basah karena tak terlindung mantel. Kulit di permukaan jari mengkerut menahan dinginnya guyuran air hujan. GPS yang ternyata menyesatkan. Jalan aspal namun berlubang hampir 65 persen di permukaannya. Lalu hidung yang tersumbat semakin diperparah dengan dingin menusuk. Mobil melintas tanpa simapati. Setiap empat roda itu melewati genangan, ia meninggalkan guyuran genangan air keruh bercampur serpihan aspal yang rusak.

Itu, hanya di permukaan saja. Mereka tidak pernah tau bukan… Selama perjalanan kedua matamu basah karena air hujan dan air asin lainnya. Otak dan  hati berperang memperebutkan spekulasi dan prasangka. Entah siapa yang benar di antara keduanya. Kamu menangis, kamu berteriak. Beruntung, suara-suara itu tertelan gegap gempita klakson jalan raya.

Mereka hanya tahu, yang kamu lakukan adalah perjalanan pulang ke rumah. Padahal sesampai di tempat tujuan, yang kamu temukan hanya seonngok gedung dingin yang isinya manusia-manusia tanpa punya perasaan. Memikirkan ornag lain, tapi tidka memikirkan dirimu.

Ah iya, mereka tidak pernah tahu kondisi sebenarnya. Di otak mereka hanya spekulasi dan egosentris di luar batas toleransi.

Lalu, teks yang dikirimkan namun berakhir tanpa balasan. Untuk apa semua paragraf ini ditulis. Terlebih lagi, kamu tidak pernah lagi datang ke halaman ini bukan? 🙂

Secangkir Perasa(an)

Orang dewasa menyeduh kesedihannya dalam secangkir teh atau kopi. Lalu dimimumnya sendiri. Ia mengaduknya dengan sendok yang terbuat dari kenangan. Sambil mengaduk, ia tuangkan sedikit demi sedikit perasa(an) sedih, senang, pahit. Dihitungnya jumlah adukan sebanyak tanggal-tanggal bermakna dalam hidupnya. Sesekali ia tambahkan tetesan air hujan yang dingin agar cangkirnya penuh. Panas dan dingin menyatu menjadi kehangatan. Getir, pahit, asam, asin berputar-putar dalam cangkir. Tapi kesemua perasa(an)  itu tak bisa menyatu.

Orang dewasa meminum sendiri isi cangkirnya. Di sudut malam menjelang sepertiga langkah menuju pagi.

Semakin tahun ia tumbuh dewasa, semakin besar cangkirnya. Jumlah perasa(an) yang harus diseduhnya juga semakin melimpah.

Begitulah cara orang dewasa menikmati secangkir wedang kehidupannya.

-anl-
21 Januari 2016.

*when the tears comes streaming down your face.