Category Archives: kontemplasi

Seorang perempuan adalah detektif yang cekatan. Ia gemar mengumpulkan bukti. Logikanya, – meski tak setajam lelaki – pandai merangkai kejadian dari ceceran remah-remah yang tertinggal. Seorang perempuan adalah detektif dengan intuisi kuat. Perpaduan dari akal dan perasaan membentuk kepekaan yang kuat. Hanya dengan menatap mata, ia bisa menebak hampir akurat isi kepala lawan bicara.

Sia-sia jika kamu berniat membohongi seorang perempuan. Cepat atau lambat ia akan temukan fakta tersembunyi di balik rahasia. Percuma kamu bersilat lidah, seorang perempuan mengetahui benar mana bualan, rayuan, dan kejujuran.

Sayangnya, meskipun perempuan mengetahuinya, ia tidak selalu mengungkapkannya.

-anl-

Impaksi

Ndoro tak pernah bilang kalau jadinya akan sesulit ini.

Seperti gigi graham bungsu yang tumbuh tak pada tempatnya. Dimana-mana tumbuhnya gigi baru itu baik. Tapi kalau sudah tumbuh di tempat yang salah, jadinya menyakitkan.

Namanya impaksi. Kalau dibiarkan bisa merusak gigi sehat. Hanya karena ia salah tempat tumbuh. Hanya karena si bungsu ini tumbuhnya belakangan.

Gigi impaksi kalau dicabut menyakitkan. Konon, bengkaknya sampai berhari-hari. Akibatnya jadi Susah makan, susah bicara.

Ndoro bilang, itu satu-satunya jalan. Meski menyakitkan. Karena Kalau dibiarkan, bisa-bisa….

Itu sih baru impaksi gigi. Hal ihwal terkait impaksi bisa terjadi dalam kondisi lain. Bisa ide, bisa hati, bisa tindakan.

Semua yang baik, tapi kalau dilakukan tidak pada waktu dan tempatnya, maka jadinya cuma bikin repot. Merugikan ihwal baik lainnya.

Nyatanya, impaksi terjadi di luar kehendak manusia. Tetapi, kita punya pilihan ; membiarkan atau menghentikan.

-Anla Arinda-

*tentang gigi saya yang impaksi, dan impaksi pada “hal lain”.

22:15 WIB

Berhentilah

…Jika memang sudah lelah. Tidak lagi ada yang diperjuangkan. Kehilangan seluruh keyakinan. Berhentilah…,

…Jika tekad bulat yang kau bicarakan tempo hari telah pergi. 🙂

Monolog

Bahkan tanpa lawan bicara, tanpa dialog, kita masih bisa bermonolog. KIta butuh monolog. Karena, berbicara dengan orang lain tak selamanya menarik. Terlebih lagi, jika suatu hari, suatu ketika, kita kehilangan satu persatu kawan bicara. Mereka lenyap, pergi ke entah berantah.

Dialog adalah candu. Maka, ketika kehilangan kawan bicara, spontan kita merasa sepi. Ada kekosongan tanpa definisi. Menyeruak jauh di dalam relung hati. Kekosongan merindukan teman bicara. Atau sesekali lawan bicara.

Sementara Monolog begitu syahdu. Dengannya kita mendengarkan diri sendiri, mungkin untuk yang pertama kali. Kita mengorek isi hati sendiri, tanpa perlu seorang pun tau. Lantas setiap gumaman, racauan, kicauan itu keluar dari dalam diri menjadi sebuah monolog.

Kita butuh Monolog, karena teman bicara tak selamanya ada di samping kita. mereka punya dunia yang lebih menarik, daripada sekedar berbincang dengan kamu. Bukankah subjek palng menarik adalah diri kita sendiri? Begitulah, kawan bicara jbisa lelah mendengarkan ocehanmu. kawan bicara butuh diam dalam perenungannya sendiri. Ia, butuh sendiri.

Maka monolog adalah obat. Bagi kesendirian tanpa sebab. Bagi sepi yang sekedar muncul tanpa perlu alasan. Sudah terlalu lama kita berdialog. Kita butuh monolog. Menjadi Aku sebagai Aku. dan Kamu sebagai Kamu.

Ruang itu

Ruang itu terlalu berdebu. Ya aku tau. Bahkan sebagai pemilik sah pun aku enggan menapakkan kaki ke dalamnya. Mereka bilang, ruang berdebu itu dimiliki hampir setiap rumah. Ia hadir karena kesengajaan atau rasa enggan untuk menyentuhnya. Ruangan itu semakin berdebu ketika yang ditunggu untuk menempatinya tak kunjung datang. Padahal, sudah tertempel memo tanda perjanjian akan pertemuan. Debu itu lengket di kulit. Kalau masuk hidung bisa bikin alergi.
Ruangan itu adalah hati kamu. Debu itu adalah rindu yang menunggu segera disapu.

Seni Melupa

Picture taken from: delapansetengah.com

Picture taken from: delapansetengah.com

Mereka mengajarkan kita mengingat, mencatat, dan menyimpan. Tapi tidak pernah mengajarkan cara melupakan, menghapus, serta melepaskan.

Kenapa demikian?
Mungkin karena tak seorangpun mengetahui cara melupa. Terlalu rumit. Kelewat susah. Butuh seumur hidup untuk menemukan formula melupa. Hingga setelah ditemukan caranya lupa, justru ketika manusia ini hendak meninggalkan dunia. Tak ada lagi waktu untuk menuliskan rumus melupa. Karena ia telah lupa caranya.

Mungkin karena itulah, melupa adalah ilmu yang tak mungkin diajarkan, dituliskan, dipublikasikan. Karena bukankah mengajarkan cara melupa sama saja dengan belajar mengingatnya? Sementara ingatan adalah musuh besar dari amnesia.

Kita lupa caranya lupa. Kita kelewat cerdas untuk mengingat, merekam, mengabadikan.

Padahal, ingatan itu suatu saat akan membunuh kita. Perlahan.

-anl-

Mencari Puncak atau Mencari Jalan Pulang?

 semeru

Ihwal  yang paling melelahkan adalah; berjalan tanpa tau arah, mendaki tanpa kenal akhir tanjakan…Yang kita tau hanya terus berjalan. Berjalan dengan bekal satu keyakinan: “Ada puncak terindah menanti”.

Anehnya, jika puncak itu indah, kenapa ada orang yang memutuskan berhenti di tengah pendakiannya?

Mungkin ia gagal  mengontrol emosi. Dalam berbagai keadaan, emosi bisa berbentuk amarah, lelah, putus asa, dan merasa tidak berdaya.

Seorang pendaki harus berbekal kemampuan pengendalian emosi yang cukup kuat. Kalau tidak, seberapa ringan pun tanjakan, ia akan cepat menyerah.Ini tidak mudah. Saya merasakan bagaimana mengendalikan emosi diri sendiri. Lelah dan putus asa rasanya sudah jadi bagian tak terbantahkan dari proses pendakian.

Tentu emosi bukan satu-satunya penyebab.  Mungkin saja ia tak siap karena fisiknya terlalu lelah. Otot kaki sudah terlalu lelah untuk sekedar menopang tubuh. Lalu ia kehilangan motivasi.

Atau bisa jadi, ia tak nyaman dengan perjalanan. Tak punya teman pendamping yang idealnya memotivasi, menemani, menguatkan. Ia mungkin kehilangan semua itu.

Ada juga kemungkinan ia kehilangan ketiganya. ironis,

The art of Enjoy the pain

Tantangan? Tak kunjung menemukan puncak? Lelah lalu ingin menyerah tanpa syarat?

Saya yakin kita sedang atau pernah mengalaminya.

Tentu saja setiap orang punya puncaknya masing-masing. “Puncak” itu berwujud cita-cita, harapan, dan tujuan hidup. Untuk mencapai puncak ada tanjakan yang harus kita lalui. Dalam kehidupan sehari-hari, tanjakan itu berwujud tantangan, kesulitan, kegagalan. Bahkan tak jarang mengejewantahkan diri lebih kejam seperti penghianatan dan rasa kesepian.

Namun kesulitan yang dilalui tanpa makna, tanpa keasyikan dan tanpa kesadaran hanya akan berujung pada kesia-siaan, penyesalan dan kepedihan.

Di balik setiap kelelahan mencapai puncak, kita sadar bahwa itu bukanlah tujuan utama. Setiap pendaki harus sadar, tujuan utama adalah kembali ‘pulang’ dengan selamat.

Konsep tersebut – bagi saya –  berlaku juga untuk kehidupan karir seseorang. Tujuan utama bukan menjadi Bos, CEO, manajer, dan apalah itu namanya. Melainkan bagaimana kita “pulang” dengan selamat di akhirat kelak.

Pemahaman seperti ini akhirnya akan membawa efek positif. Tidak ada istilah menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Karena pendaki sejati tidak menginginkan puncak tanpa ‘pulang’ dengan selamat.

Lantas, kemana kah kita hendak berpulang?

-Anla Arinda-

Berani Memulai?

2013

Terima kasih untuk segala macam penolakan. Kalian membuat saya semakin yakin bahwasannya Saya Tidak Cocok Bekerja di tempat anda. Dan bahwa saya memiliki jalan sendiri. yang Berbeda. yang lain dari khalayak pada umumnya.

Keyakinan ini hadir justru ketika saya mencoba menuruni bukit. Lantas melihat pemandangan tentang ketinggian dari bawah sini. iya, di sini. di kaki bukit yang tentram. Jauh dari kerumunan yang ramai. Menjauhkan telinga dari segala macam opini publik yang terkadang tak mendidik. Atau kritik yang asal bunyi. 🙂

Lima tahun silam, dengan berani saya menuliskan impian, “Membuat jejak baru, bukan menyusuri yang telah ada.”. sebuah kalimat yang baru-baru ini saya sadari bahwa, sungguh tidak mudah mengimplementasikannya di dunia nyata.

Empat tahun saya meyakinkan diri untuk menyusuri jalan yang berbeda. Mengumpulkan segenap keberanian untuk melawan tradisi. Mengikuti hati nurani.

Tiga tahun saya memberanikan diri mengambil pilihan penuh resiko. Seringkali gagal, sedikit sekali meraup kesuksesan. Tak apa 🙂 biar jatah kegagalan ini saya habiskan sekarang. Mumpung masih muda. Mumpung saya masih punya lusinan energi untuk bangkit setelah jatuh. Melompat lebih tinggi, setelah menghempaskan diri di titik terrendah.

Dua tahun lalu saya bertemu dengan manusia penuh optimisme. Manusia dengan mimpi-mimpi setinggi bintang terjauh. Manusia yang membuka mata saya, memberi saya kacamata. sehingga saya tak lagi rabun tuk melihat nikmat yang begitu dekat, dan impian yang begitu jauh.

Kemudian, Satu tahun terakhir, saya mulai menikmati indahnya menjadi “Berbeda”. Indahnya berani menentukan pilihan atas masa depan diri sendiri. Nikmatnya menerima segala bentuk resiko dan konsekuensi atas pilihan yang tak wajar ini.

Lantas pertanyaan selanjutnya, beranikah kita memulai dari titik Nol? mengawali dengan tidak membawa kebanggan masa lampau? dengan tidak memiliki bekal kekayaan warisan. Kita hanya membawa selembar keberanian yang melapisi relung hati.

Berani kah saya menghidupkan mimpi? Hanya dengan berbekal doa dan keyakinan tingkat tinggi.

-AN-

Halaman Baru

“Butuh keberanian sebesar gajah untuk memulai semuanya dari titik nol. “

“Kenapa gajah, ndoro?”

“Karena kalau saya bilang “sebesar gunung rinjani”, rasanya terlalu hiperbolis.”

“Lantas, bagaimana bentuk keberanian yang panjenengan maksud?”

“Mudah saja. Cukup melepas segala atribut masa lalu. Entah itu prestasi, medali, nama baik keluarga, jabatan, bahkan melepaskan diri dari orang yang kita sayangi.”

“Tujuannya? Apakah harus se-ekstrim itu?’

“Ada kalanya atribut itu justru mempersulit jalan kita mendaki puncak-puncak baru yang lebih tinggi. Isi masa lalu bisa jadi beban. Bukannya jalan kamu makin mulus, malah kamu terperosok ke titik nadir.”

“Ah, ndak masuk akal.”

“Ndak semua hal bisa kita terima dengan akal, Nduk. Kalau hati kita jernih, pikiran pun akan jernih. Atribut masa lalu hanya titipan. Suatu saat harus dikembalikan.”

“Ah, masih ndak mudheng, Ndoro.”

“Kalau kita bisa ikhlas melepas atribut masa lalu, kita akan terpacu untuk melompat lebih tinggi. Atlit yang sebelumnya tidak pernah meraih medali, terkadang punya semangat yg lebih tinggi untuk meraih podium teratas. Sebaliknya, atlit senior kawakan malah merasa terbebani dengan pencapain di ajang sebelumnya.”

“Tapi kenapa harus dilepaskan?”

“Halah, kowe iki kakean takon nduk..”